Heartbreak Hotel

Benar, saat ini aku memang sedang menghindar pun menjaga jarak darimu, Al. Itu aku lakukan demi kebaikan semua. Lebih banyak ketidaksefahaman di antara kita, dan aku tidak ingin hal itu menjadi perkara ke hadapan.

Maaf, mungkin apa yang akan kukatakan ini menyakitkan. Namun jujur kukatakan, sepertinya aku tidak melihat hubungan ini cukup berharga dipertahankan.

Sementara kita bersama, namun arah yang nak kita tempuh berbeza. Sudah cukup buang waktu berusaha beramah-tamah, dan menunjukan sikap sewajar mungkin. Sudah tidak ada lagi saling mengindahkan di antara kita!

Selebihnya, seraya kau melabuhkan diri ke dekat tubuhku terkulai di atas peraduan, mendekat dan menyentuh kening yang terbaring di atas bantal-bantal, kau hanya menjelaskan, “bukan aku menghilang darimu, tapi memang aku tidak pernah dianggap ada olehmu, Freya.”

Ah kalimat itu, lebih tepat ditujukan kepada dirimu sendiri, Al! Seraya aku membatin, dan melayangkan gerakan tangan menyentuh dagunya yang kian dekat, merambat hingga ke bagian tubuhnya bertelanjang dada.

Mengapa? Karena kau tidak menginginkannya. Ya, tapi kau terlalu iba untuk tega mengatakan, “tak ada yang istimewa di antara kau dan aku.” Bahkan tidak ada kita di antara kau dan aku, Al.

Sudah diprediksi dari awal mula hubungan kita, semua tentang prestise, harkat dan martabat latar belakang kita yang berbeza, namun hasrat manusiawi kita kadung seirama dalam satu harmoni kenikmatan ragawai.

Katakan padaku, Al! “Kau hanya ingin mundur teratur, itu hal sederhana yang dapat dipahami sementara ini, ya kan?”

Kita telah tinggal besama dalam satu atap, beberapa masa yang telah lewat itu. Bercengkrama, bercinta sebagaimana naluri kehendak lelaki terhadap wanita, pun ditanggapi serupa. Kau, baik aku pun sama-sama menilai hubungan ini jahanam. Tak terbesit sebelumnya akan menuju ke perasaan mendalam, semisal membina cinta.

“Kau berkata seolah kau tidak mengenal dirimu, Freya.”

Kalimat itu membuatku tercekat! Tega ia berkata demikian setelah aku menunjukan bagian terdalam dan rapuh akan perasaanku padamu, seolah aku perempuan murahan di hadapan lelaki tangguh seperti dirimu, sosok yang hanya ditaklukan demi sebuah kesenangan.

Dan, sepertinya memang demikian. Aku merasa kotor, dan murahan, seolah tengah bersimpuh ke hadapanmu demi menghiba suatu pengharapan, menjadi milikmu seorang. Apakah kejadiannya sampai sehina itu?

Sedari mula, memang hubungan ini tidak berdasar pada norma atau adab yang patut dalam menjalin suatu hubungan. Kami bertemu di suatu club, kau mendatangiku dan menggoda, lalu terjadi perbincangan sepanjang malam dan berakhir di peraduan suite room hotel.

Kau cukup menyenangkan saat itu. Seluruh representasimu menunjukan betapa kau lelaki memikat, patut didapatkan, walau dengan cara-cara yang mungkin kurang terhormat, hingga dapat menilai diriku rendah sebagai perempuan di mata lelaki yang masih memandang nilai-nilai konservatif.

Awalnya, aku mengira akhir dari semua ini hanya menyisakan heartbreak hotel, hubungan semalam, namun tiba-tiba peristiwa demi peristiwa, kau mendampingiku ke acaraku pun sebaliknya, berlanjut dan berlanjut. Hingga aku memahami ini bukan sebatas melepas kesenangan, namun di dalamnya ada kebersamaan, moment intim yang selama ini dirindukan satu sama lain sebagai mana kodrat insan manusiawi. “Menjadi untuh oleh satu sama lain.” Itu yang aku takutkan.

Bilamana aku bertahan dengan kesilafan ini, ke depan kelak mungkin aku akan patah hati, di saat aku telah terikat, aku tak sanggup kehilangan sesuatu yang dianggap telah menjadi milikku. Sebelum semua itu terjadi, sudah seharusnya diakhiri.

“Aku tidak menilaimu seperti itu, Freya. Kau hanya sedang menyiksa diri.” Kilahmu, namun kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu yang tak melibatkan aku di dalamnya, duniamu, dunia seorang lelaki pada umumnya. Walau sepenuhnya dipahami memang seperti itu lah seharusnya.

Namun, kekhawatiran akan hubungan ini bersamamu, lelaki. Adalah betapa aku menyadari kebersamaan kita rapuh sangat. Sekedar menyandarkan pada kesenangan ragawi, “seperti aku tak bernilai bagimu.”

Sebagai lelaki yang mengendalikan hubungan, kau mungkin tak ambil pusing dengan kegundahan perasaanku ini. Tak mengerti betapa aku kehilangan kepercayaan diri untuk  tetap mempertahankan hubungan ini, dan mengapa aku begitu peduli akan pandanganmu terhadapku, Al.

Semalam lalu aku menangis, saat kau tak pulang. Baru larut malam aku terpulas lalu mendapatimu di sisiku, telah lelap.

Oh Al, tahu kah kamu? Betapa bahagia saat terjaga mendapati dirimu di sisiku.

“Mengapa tiba-tiba kau merasa insecure, Freya?” Kata-katamu membuatku tercenung, mengakui  betapa hal yang mesti kumiliki untuk merasa berharga bagi pria, sudah tak ada.

“Apakah aku peduli dengan kesucian diriku di hadapan lelaki sepertimu. Pribadi moderat yang tak mengindahkan norma konservatif bahwa perempuan semestinya suci, sebelum dilabuhkan bersama tubuhnya di atas peraduan persenggamaan ragawi.”

Apakah lelaki juga membutuhkan jiwa seorang wanita, selain raganya? “Mungkin.” Jawabmu! Lelaki butuh harkat yang bisa membuat mereka menegakan kepala, sebagai pribadi yang utuh dan terhormat.

Sepenuhnya aku memahami masih tetanam nilai-nilai konservatif dalam benak tiap lelaki sebagai kehormatan dirinya, namun kah akan mempengaruhi cinta? Semua pertanyaan itu mebingungkan, dan hanya membuatku kehilangan arah.

Sepekan kemudian, telah tuntas keputusan mengembalikan kunci apartemen yang telah kau serahkan padaku sebagai bentuk komitment yang pernah kita buat untuk tinggal bersama.

“Tapi mengapa?” Kau bertanya setengah menghiba, ketika tiba-tiba hadir di depan beranda rumah Sahabatku, Malinda yang mana sementara waktu aku tinggal bersamanya.  Paska meninggalkan kediaman Al.

“Aku tidak bisa, Al!” Titik air berlinang jatuh, saat aku harus berbalik membalikan punggung darimu di ambang pintu.

Langit senja tergulung mega-mega hitam, saat hujan jatuh bergemuruh, wujud jangkungmu keluar dari kendaraan yang terparkir di depan halaman, melangkah di bawah naungan payung, menyampak ke beranda, untuk menjemput aku dari kediaman Malinda. Namun kau harus kembali tanpa aku bersertamu, Al.

***

Saat Malinda menanggapi permasalahan antara aku dan Al, kami duduk di sofa dekat jendela ketika hujan deras jatuh di luar sana. Ia berkata, “tak seharusnya kau bersikap demikian terhadap Al, Freya. Lelaki itu hanya bersikap pragmatis, dan tidak cukup pengetahuan asmara untuk membuatmu merasa berharga pula dicintai, serupa aktor di drama-drama televisi.”

Maksudnya, Malinda menjelaskan, “berbeda denganku sebagai wanita karier yang mengklaim dirinya independent, aku tidak dipusingkan masalah relationships. Tapi memang ada sebagian wanita yang memang hidup bagi pria, contohnya kau.”

Maksudnya, aku tidak bisa hidup tanpa pria, Malinda? “Akuilah, dan berkompromi. Aku tidak anti pria, Freya. Tapi menjadi bagian dari hidup pria, sebagai wanita yang menaruh harapan terhadap salah satu dari mereka, kau harus berkompromi, bahwa sesungguhnya kita berbeza. Dan perbezaan itu menyatukan dua hal yang tak serupa, Freya.”

“Bagaimana kau berfikir aku mesti menelphon dan memintanya menjemputku, Malinda?”

Malinda tergelak, dan merampas cangkir kopi di atas meja, meneguknya. “Kau berfikir tentang harga dirimu. Sikapmu sekedar menunjukan betapa kau harus diperjuangkan, betapa kau mesti selalu ada dalam benaknya setiap saat. Lelaki punya dunianya sendiri, sebagaimana kita. Suatu dunia yang mungkin tak ingin kita turut di dalamnya. Namun bukan berarti mentiadakan sebagian dunianya yang lain, yaitu sisi dunia bersama wanita yang diingini olehnya.”

Betapa aku ingin memahami seluruh ucapan Malinda, namun aku terlalu letih lahir-bathin, hingga tak sanggup bangkit dari peraduan.

“Itu akan membuatmu jatuh sakit, Freya. Makanlah sesuatu, aku membawakan makanan untukmu.” Kata Malinda, saat mendapati diriku tak sanggup lagi bangkit dari peraduan, selebihnya aku tak ingat lagi ketika sahabat perempuanku itu  menghubungi nomor selular.

***

Gelak tawa terdengar riang di pagi terang, aku bangkit dari peraduan mendengar suara lelaki yang aku hafal benar besama suara sahabatku, Malinda.

Aku mendapati mereka sedang memasak di dapur, bersama ketika aku melangkah tiba di sana, menyaksikan keduanya nampak akrab. Seketika, suasana beku, namun tak lepas senyum tersungging di wajah dan mata binar Al, saat mendapatiku menghampiri mereka. “Ini mungkin kejutan.”

“Syukur kau sudah bangun, Malinda.” Sahut Sahabatku, seraya melayangkan pandangan ke arahku, lalu menatap Al, lalu mohon diri meninggalkan kami. “Menurutku kalian harus bicara.” Malinda berlalu.

Satu kursi ditarik Al, menuntunku duduk padanya, “aku telah memasak sesuatu untukmu.” Katanya.

“Aku baik-baik saja, Al.” Sambutku, “terimakasih kepada kalian, tapi kau tak harus berbuat ini. Mengapa Malinda mengijinkanmu berada di sini?”

“Mengapa tidak?” Sahut Al. “Memangnya dia tahu kita bertengkar?”

Bertengkar, aku ingin tergelak bila situasinya memungkinkan, tapi tidak saat ini. Pertanyaannya adalah, “Mengapa kau meninggalkan aku, Freya?” Tandas Al.

Entah aku harus ngomong apa, dan hanya menatapnya. Tangan Al begerak merain gengaman tanganku ke dalam genggaman tanganya, saat dibuka sebentuk cincin tertera di baliknya. “Menikahlah denganku.”

Peristiwa singkat dan sangat tiba-tiba, aku terkesima, sehingga tiada kata-kata terucap menanggapi pinangan Al di moment itu. “Aku mencintaimu, dan sudah seharusnya mengetahui kegelisahanmu, Freya.”

Tidak perlu kata-kata, air mata yang terjatuh saat itu sudah mewakili untuk menyatakan kesedian akan pengajuan Al menyandingku dalam hidupnya. Sebagaimana pernah Malinda ucapkan sepanjang ia menyertaiku dalam hal ini, “jangan takut, Freya. Kau hanya perlu merasa berharga untuk dicintai. Dan itu yang akan membuatmu aman untuk dicintai olehnya.”

“Maafkan aku, Freya. Sejauh hubungan kita, aku telah alfa untuk mengerti kegelisahanmu, dan rasa tidak aman dalam menjalin hubungan bersamaku. Freya, percayalah, bila kau merasa tidak aman dalam hubungan ini, sementara aku mengaku mencintamu, sungguh kejam bila membiarkanmu tanpa aku.”

Lebih jauh Malinda pada suatu kesempatan menjelaskan, “Al itu lelaki, Freya! Meski mungkin tidak menghormati perempuan yang dengan mudah diajak ke atas ranjang buat bercinta, walau diajak oleh dirinya sendiri. Tapi perempuan adalah harga diri bagi lelaki yang tak boleh dimiliki lelaki lainnya. Mereka bertarung, dan itu yang tidak kau pahami. Percayalah, Freya. Dimiliki adalah cara memiliki seorang pria. Biarkan ia merasa memiliki, dan kau akan memiliki seluruh dunianya.”

Tentu saja, dengan sesuatu yang dianggap menggelikan bagi Malinda sahabatku, “cinta.”

#EnRaga

 

Leave a comment